FASE PERTAMA DALAM KEHIDUPAN RA KARTINI
RA Kartini dan Pengaruh Pemikiran Yahudi, Theosofi dan Pluralisme
Kebanyakan
orang yang menjadikan Kartini sebagai ikon perjuangan perempuan
Indonesia, tak melihat sisi lain dari pemikirannya yang sangat berbau
Theosofi dan kebatinan. Padahal, banyak tokoh wanita lain yang hidup
semasa dengannya, yang berjuang secara nyata dalam dunia pendidikan,
bukan dalam wacana surat menyurat seperti yang dilakukan Kartini.
Tanggal 21 April dikenal sebagai Hari Kartini. Hampir semua
perempuan di Indonesia, termasuk kaum muslimah, yang ikut-ikutan
memperingati hari tersebut tanpa mengetahui latar belakang sejarahnya
yang jelas. Siapa sesungguhnya Kartini? Siapa orang-orang yang
mempengaruhinya? Bagaimana corak pemikirannya?
Peringatan Hari Kartini sering diikuti beragam acara yang mengedepankan
emansipasi perempuan, kesetaraan gender, perjuangan feminisme, dan
lain-lain. Kartini, dianggap sebagai ikon bagi perjuangan perempuan
dalam persoalan tersebut. Kartini sering disebut sebagai ikon pendobrak
bagi kemajuan perempuan Indonesia dan diakui secara resmi oleh
pemerintah sebagai Pahlawan Nasional dengan Keputusan Presiden
(Keppres) RI No. 108 tahun 1964.
Kartini lahir di desa Mayong, sebelah barat Kota Kudus, Kabupaten
Jepara. Sebagai anak seorang bupati, Kartini hidup dalam keluarga yang
berkecukupan. Saat kecil, Kartini dimasukkan ke sekolah elit
orang-orang Eropa, Europese Lagere School (ELS) dari tahun 1885-1892.
Di sekolah ini, Kartini banyak bergaul dengan anak-anak Eropa.
Sebagai keluarga priyayi Jawa, kultur mistis dan kebatinan begitu
melekat di lingkungan tempat tinggalnya. Namun bagi Kartini, ikatan
adat istiadat yang telah berurat akar dalam itu, dianggap mengekangnya
sebagai perempuan. Setelah tamat dari sekolah ELS Kartini memasuki masa
pingitan. Sementara itu, Kartini merasakan betul betapa haknya
mendapatkan pendidikan secara utuh dibatasi. Di luar, ia melihat
pendidikan Barat-Eropa begitu maju.
Kartini banyak bergaul dan melakukan korespondensi dengan orang-orang
Belanda berdarah Yahudi, seperti J. H Abendanon dan istrinya Ny
Abendanon Mandri, seorang humanis yang ditugaskan oleh Snouck Hurgronye
untuk mendekati Kartini. Ny Abendanon Mandri adalah seorang wanita
kelahiran Puerto Rico dan berdarah Yahudi.
…Kartini banyak bergaul dan melakukan korespondensi dengan
orang-orang Belanda berdarah Yahudi yang ditugaskan oleh Snouck
Hurgronye untuk mendekati Kartini…
Tokoh lain yang berhubungan dengan Kartini adalah, H. H Van Kol (Orang
yang berwenang dalam urusan jajahan untuk Partai Sosial Demokrat di
Belanda), Conrad Theodore van Daventer (Anggota Partai Radikal Demokrat
Belanda), K. F Holle (Seorang Humanis), dan Christian Snouck Hurgronye
(Orientalis yang juga menjabat sebagai Penasihat Pemerintahan Hindia
Belanda), dan Estella H Zeehandelar, perempuan yang sering dipanggil
Kartini dalam suratnya dengan nama Stella. Stella adalah wanita Yahudi
pejuang feminisme radikal yang bermukim di Amsterdam. Selain sebagai
pejuang feminisme, Estella juga aktif sebagai anggota Social
Democratische Arbeiders Partij (SDAP).
Kartini berkorespondensi dengan Stella sejak 25 Mei 1899. Dengan
perantara iklan yang di tempatkan dalam sebuah majalah di Belanda,
Kartini berkenalan dengan Stella. Kemudian melalui surat menyurat,
Stella memperkenalkan Kartini dengan berbagai ide modern, terutama
mengenai perjuangan wanita dan sosialisme.
Dalam sebuah suratnya kepada Ny Nellie Van Koll pada 28 Juni 1902,
Stella mengakui sebagai seorang Yahudi dan mengatakan antara dirinya
dan Kartini mempunyai kesamaan pemikiran tentang Tuhan. Stella
mengatakan,”Kartini dilahirkan sebagai seorang Muslim, dan saya
dilahirkan sebagai seorang Yahudi. Meskipun demikian, kami mempunyai
pikiran yang sama tentang Tuhan. ”
Dr Th Sumarna dalam bukunya ”Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin
Kartini” menyatakan ada surat-surat Kartini yang tak diterbitkan oleh
Ny. Abendanon Mandri, terutama surat-surat yang berkaitan dengan
pengalaman batin Kartini dalam dunia okultisme (kebatinan dan mistis).
Entah dengan alasan apa, surat-surat tersebut tak diterbitkan. Ny
Abendanon hanya menerbitkan kumpulan surat Kartini yang diberi judul ”Door Duisternis tot Licht"
(Habis Gelap Terbitlah Terang). Keterangan mengenai kepercayaan
Kartini terhadap okultisme hanya didapat dari surat-suratnya yang
ditujukan kepada Stella dan keluarga Van Kol. Seperti diketahui,
okultisme banyak diajarkan oleh jaringan Freemasonry dan Theosofi,
sebagai bagian dari ritual perkumpulan mereka.
Nama-nama lain yang menjadi teman berkorespondensi Kartini adalah Tuan
H. H Van Kol, Ny Nellie Van Kol, Ny M. C. E Ovink Soer, E. C Abendanon
(anak J. H Abendanon), dan Dr N Adriani (orang Jerman yang diduga kuat
sebagai evangelis di Sulawesi Utara). Kepada Kartini, Ny Van Kol banyak
mengajarkan tentang Bibel, sedangkan kepada Dr N Adriani, Kartini
banyak mengeritik soal zending Kristen, meskipun dalam pandangan
Kartini semua agama sama saja.
Apakah korespondensi Kartini dengan para keturunan Yahudi penganut
humanisme, yang juga diduga kuat sebagai aktivis jaringan
Theosofi-Freemasonry, berperang penting dalam memengaruhi pemikiran
Kartini? Ridwan Saidi dalam buku Fakta dan Data Yahudi di Indonesia
menyebutkan, sebagai orang yang berasal dari keturunan priayi atau elit
Jawa dan mempunyai bakat yang besar dalam pendidikan, maka Kartini
menjadi bidikan kelompok Theosofi, sebuah kelompok yang juga banyak
digerakkan oleh orang-orang Belanda saat itu.
…maka Kartini menjadi bidikan kelompok Theosofi, sebuah kelompok
yang juga banyak digerakkan oleh orang-orang Belanda saat itu...
Dalam catatan Ridwan Saidi, orang-orang Belanda gagal mengajak Kartini
berangkat studi ke negeri Belanda. Karena gagal, maka mereka
menyusupkan ke dalam kehidupan Kartini seorang gadis kader Zionis
bernama Josephine Hartseen. Hartseen, menurut Ridwan adalah nama
keluarga Yahudi.
Siapa yang berperan penting merekatkan hubungan Kartini dengan para
elit Belanda? Adalah Christian Snouck Hurgronje orang yang mendorong
J.H Abendanon agar memberikan perhatian lebih kepada Kartini
bersaudara. Hurgronje adalah sahabat Abendanon yang dianggap oleh
Kartini mengerti soal-soal hukum agama Islam. Atas saran Hurgronje agar
Abendanon memperhatikan Kartini bersaudara, sampailah pertemuan antara
Abendanon dan Kartini di Jepara.
Sebagai seorang orientalis, aktivis Gerakan Politik Etis, dan penasihat
pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronje juga menaruh perhatian
kepada kepada anak-anak dari keluarga priyayi Jawa lainnya. Hurgronje
berperan mencari anak-anak dari keluarga terkemuka untuk mengikuti
sistem pendidikan Eropa agar proses asimilasi berjalan lancar.
Langkah ini persis seperti yang dilakukan sebelumnya oleh gerakan
Freemasonry lewat lembaga ”Dienaren van Indie” (Abdi Hindia) di Batavia
yang menjaring anak-anak muda yang mempunyai bakat dan minat untuk
memperoleh beasiswa. Kader-kader dari ”Dienaren van Indie” kemudian
banyak yang menjadi anggota Theosofi dan Freemasonry.
Pengaruh Theosofi dalam Pemikiran Kartini
Surat-surat Kartini kepada Ny. Abendanon, orang yang dianggap
satu-satunya sosok yang boleh tahu soal kehidupan batinnya, dan
surat-surat Kartini lainya para humanis Eropa keturunan Yahudi di era
1900-an sangat kental nuansa Theosofinya. Seperti ditulis dalam
surat-suratnya, Kartini mengakui ada orang yang mengatakan bahwa
dirinya tanpa sadar sudah masuk kedalam alam pemikiran Theosofi.
Bahkan, Kartini mengaku diperkenalkan kepada kepercayaan dengan
ritual-ritual memanggil roh, seperti yang dilakukan oleh kelompok
Theosofi. Selain itu, semangat pemikiran dan perjuangan Kartini juga
sama sebangun dengan apa yang menjadi pemikiran kelompok Theosofi.
Inilah yang kemudian, banyak para humanis yang menjadi sahabat karib
Kartini begitu tertarik kepada sosok perempuan ini.
…Kartini mengaku diperkenalkan kepada kepercayaan dengan
ritual-ritual memanggil roh, seperti yang dilakukan oleh kelompok
Theosofi…
Kartini juga kerap mendapat kiriman buku-buku dari Ny Abendanon, yang
di antaranya buku tentang humanisme, paham yang juga lekat dengan
Theosofi dan Freemasonry. Diantara buku-buku yang dibaca Kartini
adalah, Karaktervorming der Vrouw (Pembentukan Akhlak Perempuan) karya
Helena Mercier, Modern Maagden (Gadis Modern) karya Marcel Prevost, De
Vrouwen an Socialisme (Wanita dan Sosialisme) karya August Bebel dan
Berthold Meryan karya seorang sosialis bernama Cornelie Huygens.
Berikut surat-surat Kartini yang sangat kental dengan doktrin-doktrin Theosofi:
”Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah
Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini,
haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi,
Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang
murni. ” (Surat kepada Ny Abendanon, 14 Desember 1902).
”Kami bernama orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam,
dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak
lebih. Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah seruan, adalah
bunyi tanpa makna..." (Surat Kepada E. C Abendanon, 15 Agustus 1902).
”Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani, maupun Islam, dan lain-lain” (Surat 31 Januari 1903).
”Kalau orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa,
ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha
Pengasih, Bapak semua umat, baik Kristen maupun Islam, Buddha maupun
Yahudi, dan lain-lain.” (Surat kepada E. C Abendanon, 31 Januari 1903).
”Ia tidak seagama dengan kita, tetapi tidak mengapa, Tuhannya, Tuhan kita. Tuhan kita semua.” (Surat Kepada H. H Van Kol 10 Agustus 1902).
”Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tetapi kesemuanya
menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi
kepada Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan, dan kami sendiri menyebutnya
Allah.” (Surat kepada Dr N Adriani, 24 September 1902).
…Dari surat-surat tersebut, sangat jelas bahwa corak pemikiran
Kartini sangat Theosofis, yang di antara inti ajaran Theosofi adalah
kebatinan dan pluralisme…
Dari surat-surat tersebut, sangat jelas bahwa corak pemikiran Kartini
sangat Theosofis, yang di antara inti ajaran Theosofi adalah kebatinan
dan pluralisme.
Mengenai keterkaitan dan hubungannya dengan Theosofi, Kartini mengatakan:
”Orang yang tidak kami kenal secara pribadi hendak membuat kami
mutlak penganut Theosofi, dia bersedia untuk memberi kami keterangan
mengenai segala macam kegelapan di dalam pengetahuan itu. Orang lain
yang juga tidak kami kenal menyatakan bahwa tanpa kami sadari sendiri,
kami adalah penganut Theosofi." (Surat Kepada Ny Abendanon, 24 Agustus 1902).
Hari berikutnya kami berbicara dengan Presiden Perkumpulan Theosofi,
yang bersedia memberi penerangan kepada kami, lagi-lagi kami mendengar
banyak yang membuat kami berpikir.” (Surat Kepada Nyonya Abendanon, 15 September 1902).
Sebagai orang Jawa yang hidup di dalam lingkungan kebatinan, gambaran
Kartini tentang hubungan manusia dengan Tuhan juga sama: manunggaling
kawula gusti. Karena itu, dalam surat-suratnya, Kartini menulis Tuhan
dengan sebutan ”Bapak”. Selain itu, Kartini juga menyebut Tuhan dengan
istilah ”Kebenaran”, ”Kebaikan”, ”Hati Nurani”, dan ”Cahaya”, seperti
tercermin dalam surat-suratnya berikut ini:
”Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani.
Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami. Dengan
melakukan kebajikan, nurani kamilah yang memberi kurnia.” (Surat kepada E. C Abendanon, 15 Agustus 1902).
”Kebaikan dan Tuhan adalah satu.” (Surat kepada Ny Nellie Van Kol, 20 Agustus 1902).
…Alam spiritual Kartini tak hanya dipengaruhi oleh kepercayaan akan mistis Jawa, tetapi juga oleh pemikiran-pemikiran Barat…
Alam spiritual Kartini tak hanya dipengaruhi oleh kepercayaan akan
mistis Jawa, tetapi juga oleh pemikiran-pemikiran Barat. Inilah yang
oleh kelompok Theosofi disebut sebagai upaya menyatukan antara ”Timur
dan Barat”. Sebuah upaya yang banyak memikat para elit Jawa, terutama
mereka yang sudah terbaratkan secara pemikiran.
Siti Soemandari, penulis biografi Kartini mengatakan, dalam beragama,
Kartini kembali kepada akar-akar kejawennya atau apa yang disebut
dengan ngelmu kejawen. Soemandari mempertegas, kepercayaan Kartini
adalah gabungan antara iman Islam dan Kejawen. Atau dalam bahasa lain,
keyakinan agama atau kepercayaan Kartini adalah sinkretisme yang
berlandaskan pada pluralisme agama.
…Belakangan, jaringan Theosofi di Indonesia juga mendirikan Kartini School (Sekolah Kartini) yang mulanya didirikan di Bandung…
Belakangan, jaringan Theosofi di Indonesia juga mendirikan Kartini
School (Sekolah Kartini) yang mulanya didirikan di Bandung oleh seorang
Teosof bernama R. Musa dan kemudian menyebar di berabagai daerah di
Jawa. Tercatat ada beberapa daerah yang berdiri Sekolah Kartini, yaitu
Jatinegara (Jakarta), Semarang, Bogor, Madiun (1914), Cirebon, Malang
(1916), dan Indramayu (1918).
Sebagai sekolah yang dikelola oleh para Teosof, ajaran tentang
kebatinan, sinkretisme--atau sekarang lebih populer dengan istilah
pluralisme-- juga tentang pembentukan watak dan kepribadian, lebih
menonjol dalam pelajaran di sekolah-sekolah tersebut. Sekolah lain yang
didirikan di berbagai daerah oleh kelompok Theosofi adalah Arjuna
School, dengan muatan nilai-nilai pendidikan yang sama dengan Kartini
School.
Tepatkah jika Kartini, berpikiran Barat dan berpaham Theosofi, dijadikan ikon bagi perjuangan kaum wanita pribumi?
Sejarah mencatat, ada banyak perempuan yang hidup sezaman dengan
Kartini yang namanya begitu saja dilupakan dalam perannya memajukan
pendidikan kaum hawa di negeri ini. Di antara nama itu adalah Dewi
Sartika (1884-1947) di Bandung yang juga berkiprah memajukan pendidikan
kaum perempuan. Dewi Sartika tak hanya berwacana, tapi juga mendirikan
lembaga pendidikan yang belakangan bernama Sakolah Kautamaan Istri
(1910). Selain Dewi Sartika, ada Rohana Kudus, kakak perempuan Sutan
Sjahrir, di Padang, Sumatera Barat, yang berhasil mendirikan Sekolah
Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916).
Kartini, seperti yang tersirat dalam tulisan Prof Harsja W Bachtiar,
adalah sosok yang diciptakan oleh Belanda untuk menunjukkan bahwa
pemikiran Barat-lah yang menginspirasi kemajuan perempuan di Indonesia.
Atau setidaknya, bahwa proses asimiliasi yang dilakukan kelompok
humanis Belanda yang mengusung Gerakan Politik Etis pada masa kolonial,
telah sukses melahirkan sosok yang Kartini yang ”tercerahkan” dengan
pemikiran Barat
…Kartini adalah sosok yang diciptakan oleh Belanda untuk menunjukkan
bahwa pemikiran Barat-lah yang menginspirasi kemajuan perempuan di
Indonesia
Karena itu, Harsja menilai, sejarah harus jujur dan secara terbuka
melihat jika memang ada orang-orang yang juga mempunyai peran penting
seperti Kartini, maka orang-orang tersebut juga layak mendapat
penghargaan serupa, tanpa menihilkan peran yang dilakukan oleh Kartini.
Soal sosok Kartini yang diduga menjadi ”mitos dan rekayasa” yang
diciptakan oleh kolonialis juga menjadi perhatian sejarawan senior
Taufik Abdullah. Ia menulis:
”Tak banyak memang ”pahlawan” kita resmi atau tidak resmi yang dapat
menggugah keluarnya sejarah dari selimut mitos yang mengitari dirinya.
Sebagian besar dibiarkan aman tenteram berdiam di alam mitos—mereka
adalah ”pahlawan” dan selesai masalahnya. R. A Kartini adalah pahlawan
tanpa henti membiarkan dirinya menjadi medan laga antara mitos dan
sejarah. Pertanyaan selalu dilontarkan kepada selimut makna yang
menutupinya. Siapakah ia sesungguhnya? Apakah ia hanya sekadar hasil
rekayasa politik etis pemerintah kolonial yang ingin menjalankan politik
asosiasi?”
Perjuangan dan pemikiran Kartini, terutama yang berhubungan dengan
pluralisme, memang mendapat perhatian dunia internasional. Ny Eleanor
Roosevelt, istri Presiden AS Franklin D Roosevelt memberikan pernyataan
tentang perjuangan Kartini:
”Saya senang sekali memperoleh pandangan-pandangan yang tajam yang
diberikan oleh surat-surat ini. Satu catatan kecil dalam surat itu,
menurut saya merupakan sesuatu yang patut kita semua ingat. Kartini
katakan: Kami merasa bahwa inti dari semua agama sama adalah hidup yang
benar, dan bahwa semua agama itu baik dan indah. Akan tetapi, wahai
umat manusia, apa yang kalian perbuat dengan dia? Daripada
mempersatukan kita, agama seringkali memaksa kita terpisah, dan
sedangkan gadis yang muda ini, menyadari bahwa ia harus menjadi
kekuatan pemersatu”.
…Perjuangan dan pemikiran Kartini, terutama yang berhubungan dengan pluralisme, memang mendapat perhatian dunia internasional…
Siapa Ny. Eleanor Roosevelt? Dalam buku Decoding the Lost Symbol, Simon
Cox menyebut Eleanor Roosevelt adalah aktivis organisasi the Star of
East, sebuah organisasi yang berada di bawah kendali Freemasonry, yang
menerima perempuan sebagai anggotanya. Di Batavia, organisasi the Star
of East (Bintang Timur), pada masa lalu sangat mengakar dengan
berdirinya loge Freemasonry, De Ster in het Oosten (Bintang Timur) di
kawasan Weltevreden, yang sekarang berada di jalan Boedi Oetomo.
Jadi, masih mengidolakan Kartini? [Artawijaya/voa-islam.com]
Eiiit, tunggu dulu..!!, jangan di jawab dulu, pembahasannya belum selesai .....
[Disarikan dari buku Gerakan Theosofi di Indonesia, Artawijaya, Pustaka Al-kautsar Jakarta]
http://www.voa-islam.com/counter/liberalism/2010/04/20/5268/ra-kartini-dan-pengaruh-pemikiran-yahudi-theosofi-pluralisme/
FASE KEDUA DALAM KEHIDUPAN RA. KARTINI
Rasanya tidak adil jika dalam artikel ini, admin hanya mengutip dari satu versi penelitian dari sejarah RA Kartini ini.
Ada baiknya, admin akan mengulas beberapa perkara dimasa akhir hidup kartini, yang hampir tidak di ketahui oleh banyak kalangan.
BERTEMU KYAI SHALEH DARAT
Selain faktor teman buruk, kaum muslim di sekeliling Kartini juga punya
pemahaman yang salah terhadap Islam. Mereka mengajarkan Islam tanpa
memahamkan apa yang diajarkan. Coba kita simak surat Kartini kepada
Stella ...berikut ini:
“Bagaimana aku dapat mencintai agamaku kalau aku tidak mengerti dan
tidak boleh memahaminya. Al Qur’an terlalu suci, tidak boleh
diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Di sini tidak ada yang mengerti
bahasa Arab. Orang-orang di sini belajar membaca Al Qur’an tapi tidak
mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang
diajar membaca tapi tidak mengerti apa yg dibacanya.” [Surat kepada Stella, 6 Nov 1899]
Perlu diketahui, pada waktu pemerintahan Hindia Belanda, umat muslim
memang dibolehkan mengajarkan Al-Qur’an dengan syarat tidak
diterjemahkan alias hanya belajar baca huruf arab saja (pengaruh ini
masih dapat kita jumpai saat ini, di mana belajar Al-Quran dianggap
selesai ketika telah mampu membaca Al-Quran dengan lancar sampai akhir,
walaupun tidak paham maknanya –khataman-). Dan ini memang taktik Belanda
agar orang-orang Indonesia tidak paham terhadap Al-quran dan akhirnya
mereka tidak akan angkat senjata kepada penjajah kafir belanda.
Suatu ketika, Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati
Demak. Saat itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk
anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian bersama wanita
lain dari balik tabir.
Kartini tertarik kepada materi yg sedang diberikan, tafsir Al Fatihah,
oleh Kyai Shaleh Darat. Setelah selesai pengajian, Kartini mendesak
pamannya agar bersedia untuk menemaninya menemui Kyai Shaleh Darat.
“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?“
...
Pertanyaan ini diajukan Kartini kepada Kyai Haji Muhammad Sholeh bin
Umar, atau lebih dikenal dengan Kyai Sholeh Darat, ketika berkunjung ke
rumah pamannya Pangeran Ario Hadiningrat, Bupati Demak. Waktu itu sedang
berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga dan Kartini
ikut mendengarkan bersama para raden ayu lainnya dari balik tabir.
Karena tertarik pada materi pengajian tentang tafsir Al-Fatihah, setelah
selesai Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya untuk
menemui Kyai tersebut.
Tertegun mendengar pertanyaan Kartini, Kyai balik bertanya,
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?“
“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan
arti surat pertama (Al-Fatihah), dan induk Al-Quran yang isinya begitu
indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku
kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini
para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran
dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup
bahagia dan sejahtera bagi manusia?“
Ibu Kartini muda yang di kala itu belajar Islam dari seorang guru
mengaji, memang telah lama merasa tidak puas dengan cara mengajar guru
itu karena bersifat dogmatis dan indoktrinatif. Walaupun kakeknya Kyai
Haji Madirono dan neneknya Nyai Haji Aminah dari garis ibunya, M. A.
Ngasirah adalah pasangan guru agama, Kartini merasa belum bisa mencintai
agamanya. Betapa tidak? Beliau hanya diajar bagaimana membaca dan
menghapal Al-Qurâ’an dan cara melakukan shalat, tapi tidak diajarkan
terjemahan, apalagi tafsirnya. Pada waktu itu penjajah Belanda memang
memperbolehkan orang mempelajari Al-Qurâ’an asal jangan diterjemahkan.
Kartini menceritakan bahwa selama hidupnya baru kali itulah dia sempat
mengerti makna dan arti surat Al-Fatihah, yang isinya begitu indah
menggetarkan hati. Kemudian atas permintaan Kartini, Kyai Shaleh diminta
menerjemahkan Al Qur’an dalam bahasa Jawa di dalam sebuah buku berjudul
Faidhur Rahman Fit Tafsiril Quran jilid pertama yang terdiri dari 13
juz, mulai surat Al Fatihah hingga surat Ibrahim. Buku itu dihadiahkan
kepada Kartini saat dia (Kartini) menikah dengan R. M. Joyodiningrat,
Bupati Rembang.
Kyai Shaleh meninggal saat baru menerjemahkan jilid pertama tersebut.
Namun, hal ini sudah cukup membuka pikiran Kartini dalam mengenal Islam.
Tahu tidak? Sebenarnya ungkapan "Habis Gelap Terbitlah Terang"
itu sebenarnya ditemukan Kartini dalam surat Al Baqarah ayat 257, yaitu
firman Allah“ …minazh-zhulumaati ilan-nuur” yang artinya “dari
kegelapan-kegelapan (kekufuran) menuju cahaya (Islam)”.
Oleh Kartini diungkapkan dalam bahasa Belanda "Door Duisternis Tot
Licht". Dan kemudian, oleh Armien pane yang menerjemahkan kumpulan
surat-surat Kartini diungkapkan menjadi "Habis Gelap Terbitlah Terang".
KARTINI KEMUDIAN
Kartini yang mulai mengenal Islam pun berubah. Pandangannya terhadap Islam menjadi positif.
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” [Surat kepada Ny. Van Ko...l, 21 Juli 1902].
Kartini kemudian merumuskan arti pentingnya pendidikan untuk wanita,
bukan untuk menyaingi kaum laki-laki seperti yang diyakini oleh pejuang
feminisme dan emansipasi saat ini (sebenarnya lebih cocok disebut
sebagai westernisasi), namun agar para wanita lebih cakap menjalankan
kewajibannya sebagai Ibu. Kartini menulis dalam suratnya:
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak
perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak
perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi
karena kami yakin pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar
wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan
alam sendiri ke dalam tangannya: Menjadi Ibu, pendidik manusia yang
pertama-tama.” [Kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Okt 1902]
Dan tidak hanya itu, pandangannya terhadap Barat pun berubah. Kartini menulis:
“Dan saya menjawab, "Tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami mengatakan
bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepada-Nya. Kami
ingin mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika sebaliknya,
tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah.” [Kepada Ny. Abendanon, 12 Okt 1902]
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu
benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami,
tetapi apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna?
Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat
Ibu, terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut
sebagai peradaban?” [Surat kepada Ny. Abendanon, 27 Okt 1902]
Kartini meninggal dalam usia muda, 25 tahun, empat hari setelah
melahirkan putranya. Ia tak sempat belajar Islam lebih dalam. Namun yang
patut disayangkan, kebanyakan orang mengetahui Ibu Kartini hanyalah
sekedar sebagai pejuang emansipasi wanita. Banyak orang yang tidak tahu
perjalanan Kartini menemukan Islam dan perubahan pola pikirnya.
Semoga tulisan ini dapat menggugah kita untuk tahu lebih dalam tentang
"IBU KITA KARTINI" (dalam upayanya mempelajari Islam), daripada sekedar
peringatan tahunan tanpa makna.
[Dari Majalah Elfata dengan sedikit penyesuaian pada beberapa kata]
Catatan Al Akh Abu Muhammad Herman
http://www.facebook.com/note.php?saved&¬e_id=342475750174
KESIMPULAN DARI FASE KEDUA KEHIDUPAN RA KARTINI
Dalam fase kedua, yaitu selama dan pasca mendapatkan hidayah, beliau
mendapat pencerahan tentang agama yang dianutnya, yaitu Islam. Bahwa
Islam, jika ajaran-ajarannya diikuti dengan benar sesuai dengan
Al-Qur'an, ternyata membawa kehidupan yang lebih baik dan memiliki citra
baik di mata umat agama lain. Ibu Kartini menulis dalam surat-suratnya,
bahwa beliau mengajak segenap perempuan bumiputra untuk kembali ke
jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang untuk
mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat lain memandang
agama Islam sebagai agama yang patut dihormati.
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].
Klimaksnya, nur hidayah itu membuatnya bisa merumuskan arti pentingnya
pendidikan untuk wanita, bukan untuk menyaingi kaum laki-laki seperti
yang diyakini oleh kebanyakan pejuang feminisme dan emansipasi, namun
untuk lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai ibu. Ibu Kartini
menulis: “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak
perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak
perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi
karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita,
agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang
diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik
manusia yang pertama-tama.” [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan
Nyonya, 4 Oktober 1902].
Pikiran beliau ini mengalami perubahan bila dibandingkan dengan pada
waktu fase sebelum hidayah, yang lebih mengedepankan keinginan akan
bebas, merdeka, dan berdiri sendiri. Ibu Kartini menulis: “Jika saja
masih anak-anak ketika kata-kata “Emansipasi” belum ada bunyinya, belum
berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang
kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala
itu telah hidup di dalam hati sanubarai saya satu keinginan yang kian
lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri.”
[Surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899].
Tidak hanya itu, nur hidayah itu juga bisa menyebabkan perubahan sikap
beliau terhadap Barat yang tadinya dianggap sebagai masyarakat yang
paling baik dan dapat dijadikan contoh. Ibu Kartini menulis, “Sudah
lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu
benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami,
tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna?
Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat
ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai
peradaban?” [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902].
Dan yang lebih penting lagi, beliau menjadi sadar terhadap upaya
kristenisasi secara terselubung yang dilakukan oleh teman-temannya. Ibu
Kartini menulis, “Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika
bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta
kasih, bukan dalam rangka kristenisasi?… Bagi orang Islam, melepaskan
keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang
sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan
mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” [Surat Kartini kepada E. E. Abendanon, 31 Januari 1903].
Allah Subhanahu wa Ta`ala Maha Berkehendak dengan menggariskan hidup Ibu
Kartini yang terbilang cukup pendek, 25 tahun, yaitu empat hari setelah
melahirkan putranya, R. M. Soesalit. Dia juga mentakdirkan hidup Kyai
Sholeh Darat tidak cukup panjang untuk menuntaskan buku tafsir
Al-Qurâ’an dalam bahasa Jawanya, sehingga informasi mengenai Al-Qurâ’an
yang diterima oleh Ibu Kartini masih terbatas. “Manusia itu berusaha,
Allah-lah yang menentukan” [Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, Oktober
1900].
Namun sebenarnya itu sudah cukup untuk memberikan gambaran bagaimana
sebenarnya visi Ibu Kartini sebagai sosok muslimah, terutama pada
masa-masa akhir hidupnya, yaitu fase selama dan pasca hidayah. Itu pun
juga cukup bagi kita untuk bisa memahami mengapa beliau pada akhirnya
merasa ikhlas menjadi isteri keempat Bupati Rembang, yang kemudian
justru mendukung semua cita-cita perjuangannya dalam pendidikan terhadap
kaum wanita, yaitu dengan mendirikan sekolah wanita di Kabupaten
Rembang. Kartini menulis mengenai suaminya, “Akan lebih banyak lagi yang
saya kerjakan untuk bangsa ini bila saya ada di samping seseorang
laki-laki yang cakap, yang saya hormati, yang mencintai rakyat rendah
sebagai saya juga. Lebih banyak, kata saya, daripada yang dapat kami
usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri. “ ? [Habis Gelap
Terbitlah Terang, hlm. 187].
Dan itu juga cukup untuk dapat kita bayangkan, bahwa (semoga) Ibu
Kartini wafat dalam keadaan husnul khotimah, setelah sebelumnya
diombang-ambingkan oleh berbagai pemikiran teman-temannya, dan walaupun
banyak orang mengulas kumpulan tulisannya dari berbagai sudut pandang
dan agama.
Namun yang juga sangat penting buat kita muslimah generasi penerusnya
adalah pesan-pesan beliau secara tersirat agar kembali kepada fitrahnya
dan selalu berpegang pada Al-Qur'an (dan Hadits). Al-Qur'an harus selalu
dibaca, dipelajari, dihapalkan, dimengerti maknanya, dan diamalkan,
agar benar-benar meninggalkan kegelapan menuju cahaya. Ajakan beliau ini
lebih mendasar dan tentu lebih bermanfaat daripada mengedepankan
isu-isu tentang feminisme dan kesetaraan gender, misalnya yang pada
dasarnya merupakan konsep Barat. Lagipula, sikap yang mempercayai bahwa
sesuatu yang berasal dari Barat itu paling baik, justru digugat oleh Ibu
Kartini sendiri.
Allah Yang Maha Bijaksana menurunkan Al-Qur'an, di mana salah satu
kehendak-Nya adalah justru untuk mengangkat harkat dan martabat wanita.
Pada dasarnya, gerakan emansipasi perempuan dalam sejarah peradaban
manusia sebenarnya dipelopori oleh risalah yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Shalallaahu Alaihi wa Sallam tersebut.
Hingga di sini, marilah kita merenung kembali, apakah kita semua telah mengikuti pesan dan teladan Ibu Kartini tersebut?
[ Buku Seabad Kontroversi Sejarah, Asvi Warman Adam, Ombak, 2007, hal 14 – 20].
http://www.sejarahkita.co.cc/2011/01/membaca-kembali-jejak-ra-kartini.htm
Sumber :
http://www.voa-islam.com/counter/liberalism/2010/04/20/5268/ra-kartini-dan-pengaruh-pemikiran-yahudi-theosofi-pluralisme/
http://www.facebook.com/note.php?saved&¬e_id=342475750174
http://www.sejarahkita.co.cc/2011/01/membaca-kembali-jejak-ra-kartini.htm