This Blog

Blog ini berisi artikel-artikel yang menurut saya menarik untuk diketahui oleh pembaca. Artikel dalam blog ini berasal dari berbagai sumber di internet.

1/30/2012

Tan Malaka, Pewaris Kepresidenan Kedua RI



A. Misteri Pada Malam Takbiran
Dokter pribadi  Bung Karno – Dr. R. Soeharto
Dari seorang penutur yang terpercaya, Dr. R. Soeharto yang merupakan dokter pribadi Bung Karno, dikisahkan sebuah sejarah yang tak terungkap selama puluhan tahun kekuasaan Orde Baru. Awal September 1945, persis pada malam takbiran, di rumah Dr. R. Soeharto, Jalan Kramat Raya 128, Jakarta Pusat, cerita itu bermula. Dilakukan sebuah rapat gelap antara Bung Karno dengan seorang misterius bernama Abdul Rajak, yang berlakangan diketahui merupakan nama samaran Tan Malaka.
Tan Malaka
Dalam rapat tersebut, Tan Malaka mengusulkan dirinya menjadi pengganti tunggal pucuk kepemimpinan Republik Indonesisa (RI) apabila dalam suatu kondisi Bung Karno dan Bung Hatta ditangkap atau dibunuh oleh penjajah.
Rapat kedua dilakukan di rumah Mr. Ahmad Soebardjo pada Oktober 1945. Rapat tersebut masih mengusung agenda yang sama mengenai pewaris tahta RI jika Bung Karno-Hatta ditangkap atau dibunuh. Namun, ada penambahan nama yang diusulkan. Hatta (yang memang tidak begitu baik hubungannya dengan Tan Malaka) mengusulkan Sjahrir dan Wongsonegoro. Sementara, Mr. Ahmad Soebardjo mengusulkan Iwa Sumantri. Jadi, urutan pertama tetap Tan Malaka, diikuti dengan Sjahrir, Wongsonegoro, dan Iwa Sumantri.
Mr. Ahmad Soebardjo
Ini menjadi catatan sejarah yang sempat ‘dihilangkan’. Sebab, inilah sejarah politik yang sah mengenai warisan kepemimpinan RI oleh Bung Karno dan Hatta. Dengan adanya kesepakatan tersebut, sebenarnya Tan Malaka-lah yang berhak menjadi Presiden RI kedua jika terjadi apa-apa dengan dwitunggal.
“Jika saya tiada berdaya lagi, saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka..,” ujar Soekarno saat itu.

Dwitunggal – Soekarno dan Hatta
Pada tahun 1948, dwitunggal (Soekarno-Hatta) ditangkap. Terjadi kekosongan kepemimpinan (referensi lain menyebutkan bahwa sebenarnya tidak terjadi kekosongan karena telah terbentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat).
Tan Malaka
Menurut Tan Malaka, dwitunggal sudah tidak bisa memimpin revolusi sehingga ia mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin revolusi untuk melaksanakan testamen (suatu pernyataan dari orang yang masih hidup yang harus dilaksanakan pada waktu ia mati atau menghilang) politik Soekarno. Banyak sejarawan menganggap tindakan Tan Malaka sudah sesuai dan sah. Jika ini benar, maka presiden kedua RI adalah Tan Malaka, bukan Letnan Jenderal Soeharto, sebagaimana yang kita ketahui saat ini. Akan tetapi, kesimpangsiuran informasi di medan pertempuran pada akhirnya membuat Tan Malaka dipandang sebagai pemberontak yang ingin mengambil alih kekuasaan secara paksa dengan memanfaatkan momentum ditangkapnya dwitunggal. Gerakannya dipandang membahayakan revolusi. Perpecahan pun terjadi di tubuh TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pimpinan Jenderal Soedirman ketika itu. Meskipun terjadi perdebatan sejarah mengenai dari siapa komando untuk menghabisi Tan Malaka, akhirnya tentara RI menembak mati Tan Malaka di Kediri.
B. Siapa Tan Malaka?
Tan Malaka
Akibat rezim Orde Baru menyembunyikan rahasia sejarah mengenai Tan Malaka, saat ini masyarakat Indonesia tidak mengenal siapa Tan Malaka. Namun, seorang asing berkebangsaan Belanda, Dr. Harry A. Poeze mengungkapkannya ke publik. Baru pada hari-hari terakhir ini, kita mengetahui bahwa sesungguhnya kita memiliki seorang pewaris kepemimpinan nasional pada masa revolusi dulu.
Dr. Harry A. Poeze
Tan Malaka lebih dulu memperjuangkan revolusi dibandingkan dengan Soekarno-Hatta. Ia pula yang pertama kali memperkenalkan kata Naar de Repoeblik Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh sebelum Hatta (1928) yang menulis Vrije (Indonesia Merdeka), dan Soekarno (1933) yang menulis Menuju Indonesia Merdeka. Ia adalah revolusioner sejati, keras, dan tanpa ampun kepada penjajah. Bersama Jenderal Soedirman, ia menolak perundingan. Ini pula penyebab mengapa ia berseberangan paham dengan Hatta-Sjahrir yang memilih jalan lunak kepada Belanda sehingga RI harus menanggung utang-utang negeri Belanda sebagai balasan pengakuan mereka terhadap kemerdekaan RI di Konferensi Meja Bundar (KMB). Kemudian, Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional pada 1963.
Tan Malaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rank